KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang
Maha Esa karena atas kehendak-Nya makalah yang berjudul “ TEKNIK PEMERIKSAAN
SCJ ’’ ini dapat terselesaikan tepat waktu.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat mengetahui tentang
cara pemeriksaan,anatomi dan patologi dari STERNOCALVICULA JOINT. Makalah ini
di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari
diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan
pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari karya mahasiswa ini masih banyak
memiliki kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik
dan saran yang positif agar makalah ini
menjadi lebih baik dan berdaya guna di masa yang akan datang.
Juni
2012
Penulis
DAFTAR
PUSTAKA
Kata Pengantar
…………………………………………………………. i
Daftar
Isi………………………………………………………………... ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang………………………………………………………. 1
1.2
Rumusan
Masalah…………………………………………………… 1
1.3 Tujuan……………………………………………………………….. 1
BAB II.
PEMBAHASAN
2.1
Anatomifisiologi dari SCJ……………………………………………
2
2.2 Paologi dari
SCJ……………………………………………………… 3
2.3
PersiapaPemeriksaan…………………………………………………
3
2.4 Proyeksi
Pemeriksaan………………………………………………… 4
2.5 Proses
Pencucian dan Pengolahan Film………………………………
7
BAB III. PENUTUP
3.1
Kesimpulan…………………………………………………………… 11
3.2 Saran…………………………………………………………………… 11
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Seorang
ahli fisika berkebangsaan Jerman bernama Wilhem Conrad Roentgen berhasil
menemukan sinar-X pada tahun 1895 melalui percobaannya menggunakan sinar
katoda. Penemuan tersebut memberikan perkembangan bagi ilmu pengetahuan dan
teknologi terutama dalam dunia kedokteran. Prinsip dari radiodiagnostik yaitu
sinar-X yang mengenai suatu obyek akan menghasilkan gambaran radiograf yang
dapat membantu menegakkan diagnosa adanya suatu kelainan penyakit.
Seiring
semakin berkembangnya aplikasi pemanfaatan sinar-X dalam rangka penegakkan
diagnosa suatu penyakit, maka teknik pemeriksaan suatu organ menjadi lebih
bervariasi dengan didukung berbagai spesifikasi pesawat diagnostik yang lebih
modern. Dalam hal ini salah satu pemeriksaan yang memanfaatkan sinar-X adalah
sternoclavicular joint.
Sternoclavicular
joint adalah sendi sinovial yang flexibel yang dibentuk oleh ujung medial
Clavicula dengan MenubriumSterni dan dengan permukaan atas dari Cartilago
Costalis yang pertama. Clavicula lebih menonjol keluar dari pada Sternum. Ujung
medial clavicula dipisahkan oleh
Suprasternal Notch dan dapat dengan mudah dilakukan palpasi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah
dalam makalah ini adalah sbb:
1. Anatomifisiologi
dan patologi dari SCJ
2. Persiapan
pemeriksaan
3. Teknik
pemeriksaan.
1.3 Tujuan
Setelah
membaca makalah ini, diharapkan pembaca dapat memahami:
1.
Anatomifisiologi dan patologi dari SCJ
2.
Persiapan pmeriksaan.
3.
Teknik pemeriksaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Anatomi Fisiologi dari SCJ
Sternoclavicular joint dibentuk oleh
ujung proksimal dari clavicula yang bersendi dgn clavicular notch dari sternum
dan cartilago costa I. Sendi ini merupakan modifikasi ball and socket joint
atau saddle joint yang memiliki 2 cavitas sendi atau 2 cavum articularis. Sendi
ini memiliki diskus artikular fibrokartilago yang dapat memperbaiki kesesuaian
kedua permukaan tulang yang bersendi & berperan sebagai shock
absorber.Kapsul articularisnya tebal dan kendor, diperkuat oleh lig sternoclavi
anterior dan superior.
.
Ujung proksimal dari clavicula juga
berhubungan dengan costa I melalui lig. costoclavicular dan ke-dua ujung
proksimal clavicula saling berhubungan oleh adanya lig. interclavicularis.
Sternoclavicular joint berperan besar dalam gerak-an shoulder girdle dan secara
keseluruhan berperan dalam gerakan protraksi – retraksi, elevasi – depresi,
abduksi elevasi lengan/shoulder.Pada gerakan protraksi – retraksi terjadi gerak
arthrokinematika yaitu ventral slide– dorsal slide, sedangkan gerakan elevasi –
depresi terjadi gerak ar-throkinematika yaitu caudal slide – cranial slide.
2.2. Patologi dari SCJ
1.
Suluxatio: Spontan/trauma langsung sehingga terjadi ruptur kapsul dan clavicula
meleset ke ventrocranial.
2. Arthrosis Sternoclavicular Joint
3. Subacute degenerative : tanpa gejala yg
jelas.
• Keluhan
–
Nyeri persis SCJ dan tak menyebar.
• Temuan
assessment
–
1. Ngilu pada gerakan pasif di akhir ROM dan pasif horizontal adduksi nyeri dan
terbatas.
–
Ke 2-3 tidak nyeri tetapi bengkak local.
–
Tanpa trauma timbul bengkak terutama bagian ujung medial clavicula.
–
Semua gerkan pasif terjadi nyeri pada akhir ROM.
Horizontal adduksi terjadi nyeri dan
retraksi scapula sehingga terjadi nyeri.
2.3. Persiapan Pemeriksaan.
1. Persiapan
Pasien:
-
Tidak ada persiapan
khusus.
-
Mengganti baju pasien
dengan baju yang sudah di persiapn dan setiap benda yang mungkin menimbulkan
artefak pada foto harus di lepas seprti: pakaian dalam wanita (BH)
perhiasan/kalung, wanita dengan rambu yang panjang (harus di gulung)
2. Persiapan
Alat dan Bahan.
a) Pesawat
sinar-x dengan pengaturan factor factor eksposi ( KV, mA, s ) sesuai dengan
ketebalan objek
b) Kaset
ukuran 18 x 24 cm, 24 x 30 cm, 30 x 40 cm, 35 x 35 cm.
c) Marker
R/L
d) Plester
e) Manual/automatic
processing.
2.4. Proyeksi
pemeriksaan.
a)PA
Proyeksi ( untuk pemerisaan bilateral
SCJ )
Ø Posisi pasien : Pasien prone di atas
meja pemeriksaan.
Ø Posisi obyek : Kedua bahu diatur
sama tinggi terhadap meja pemeriksaan, kedua tangan disamping badan dengan
posisi siku tolak pinggang dan sendi siku terletak di atas meja,sebaiknya pakai
grid.
Ø FFD : Short Distance Technique ( 40 cm )
Ø Central Ray : langsung tegak lurus
(perpendicular) pada pertengahan film
Ø Central
point :
Thoracal III
Kriteria :
Ø Tampak gambaran SCJ kanan dan kiri
Ø Gambaran SCJ jelas walaupun akan
superposisi dengan Vertebral dan Ribs.
Ø Pemotretan bilteral untuk SCJ tidak
akan rotasi.
a) PA proyeksi.
Ø Posisi Pasien : Pasien prone,
sternoclavicula kontak ke film.
Ø Posisi Obyek : Tangan di samping
badan, dagu di atas pinggir kassett lengkapi dengan immobilisasi terhadap
pasien, Atur marker anatomi, kollimator beam dan pakaian proteksi.
Ø FFD
: Short Distance Technique
(40 cm )
Ø Central Point : langsung tegak lurus
(perpendicular) pada pertengahan film.
Ø Central Ray : langsung ke
suprasternal kira-kira sejajar dengan vertebrae tharacic IV.
b) Proyeksi PA oblique ( RAO dan LAO )
Ø Posisi Pasien : Letakkan pasien
dengan prone posisi di atas mja pemeriksaan,
Ø Posisi Obyek : Pasien di mirigkan 45
derajat, untuk RAO maka bagian kanan depan pasien menempel dengan kaset, sedangkan untuk
LAO maka bagian kiri depan pasien dekat dengan kaset.
Ø Central Point : langsung
perpendikular ke pertengahan film.
Ø Central Ray : setara dengan SCJ atau kira-kira 10 cm ke
arah pinggir dari Vertebrae thoracal III.
Ø FFD : 90 s/d 100 cm.
Kriteria
:
Ø Tampak gambaran LAO dan RAO dari SCJ.
c) Proyeksi Lateral Dengan Metode Kurzbauer.
Ø Posisi Pasien : Tidur miring, dengan SCJ yang akan
difoto dekat pada film.
Ø Posisi Obyek : Tubuh penderita
diatur True Lateral terhadap meja pemeriksaan dan Kassette, Tangan yang
dekat meja pemeriksaan lurus diarahkan ke Cranial.
Ø Central Ra : langsung pertengahan film, dengan sudut 15
derajat Caudal, FFD 90 s/d 100 cm.
Ø Central Point : Sternoclavicular
Jjoint yang dekat ke film.
Kriteria
:
Ø SCJ terlihat menarik (bagus).
Ø Shoulder tidak berhimpit dengan SCJ.
2.5. Proses pencucian dan pengolahan
film.
A.)Proses manual processing.
1.
Pembangkit
(developer)
Pembangkitan
merupakan tahap pertama dalam pengolahan film. Pada tahap ini perubahan terjadi
sebagai hasil dari penyinaran. Dan yang disebut pembangkitan adalah perubahan
butir-butir perak halida di dalam emulsi yang telah mendapat penyinaran menjadi
perak metalik atau perubahan dari bayangan laten menjadi bayangan tampak.
Lamanya film dalam cairan pembangkitan tergantung dari kualitas cairan
developer, bila cairan dalam keadaan baik (baru) waktu yang dibutuhkan relative
singkat sesuai penglihatan radiographer, sebaliknya bila cairan developer dalam
keadaan kurang baik (sering digunakan) waktu yang dibutuhkan akan lebih lama
disbanding cairan baru. Pada umumnya teori tentang waktu pemrosesan pada
developer adalah 4 menit.
2.
Pembilasan
Pertama (rinsing)
Merupakan tahap selanjutnya setelah
pembangkitan. Pada waktu film dipindahkan dari tangki cairan pembangkit, cairan
pembilas akan membersihkan film dari larutan pembangkit agar tidak terbawa ke
dalam proses selanjutnya. Cairan pembangkit yang tersisa masih memungkinkan
berlanjutnya proses pembangkitan walaupun film telah dikeluarkan dari larutan
pembangkit. Apabila pembangkitan masih terjadi pada proses penetapan maka akan
membentuk kabut dikroik (dichroic fog) sehingga foto hasil tidak memuaskan.
Proses yang terjadi pada cairan pembilas yaitu memperlambat aksi pembangkitan
dengan membuang cairan pembangkit dari permukaan film dengan cara merendamnya
ke dalam air.
3. Penetapan (fixing)
Diperlukan untuk menetapkan dan
membuat gambaran menjadi permanen dengan menghilangkan perak halida yang tidak
terkena sinar-X. Tanpa mengubah gambaran perak metalik. Tujuan dari tahap
penetapan ini adalah untuk menghentikan aksi lanjutan yang dilakukan oleh
cairan pembangkit yang terserap oleh emulsi film sehingga tidak ada perubahan
pada bayangan foto,. Pada proses ini juga diperlukan adanya pengerasan untuk
memberikan perlindungan terhadap kerusakan dan untuk mengendalikan akibat
penyerapan uap air.
4.
Pembilasan
Akhir (washing)
Setelah
film menjalani proses penetapan maka akan terbentuk perak komplek dan garam.
Pencucian bertujuan untuk menghilangkan bahan-bahan tersebut dalam air. Tahap
ini sebaiknya dilakukan dengan air mengalir agar dan air yang digunakan selalu
dalam keadaan bersih.
5.
Pengeringan
(drying)
Merupakan
tahap akhir dari siklus pengolahan film. Tujuan pengeringan adalah untuk
menghilangkan air yang ada pada emulsi. Hasil akhir dari proses pengolahan film
adalah emulsi yang tidak rusak, bebas dari partikel debu, endapan kristal,
noda, dan artefak. Cara yang paling umum digunakan untuk melakukan pengeringan
adalah dengan udara. Ada tiga faktor penting yang mempengaruhinya, yaitu suhu
udara, kelembaban udara, dan aliran udara yang melewati emulsi.
b. Automatic processing
1.
Prinsip
Kerja Alat
Fungsi dari pada APF adalah mencuci
film hasil foto secara otomatis. Dengan proses mencuci film memakai cairan
Develover, Fixer, dan air kemudian dikeringkan dengan elemen sehingga film
lebih cepat kering.
2. Cara Kerja Alat
Film yang sebelumya sudah melalui
proses photo dengan menggunakan Xray, kemudian diproses pada ruang gelap. Pada
ruang gelap proses pencucian film menggunakan alat yang dinamakan APF
(Automatic Procesing Film). Pada alat ini pencucian film dilakukan dengan tiga
cairan yaitu Fixer, Developer, dan air proses pencetaan film hanya membutuhkan
waktu 3 menit kurang sehingga penggunaan waktu relative lebih efisien
dibandingkan dengan cara manual. Pengoperasian cetak film pada mesin ini
dibantu oleh motor yang berfungsi sebagai penggerak gigi(gear) yang kemudian
memutarkan roll yang membawa film pada bak developer, fixer dan air.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan.
Dari pembahasan di atas dpat di
simpulkan bahwa : dengan menggunaka proyeksi PA, lateral, dan oblique dapat
terlihat dengan jelas jika terjadi gangguan seperti : Fraktur, Dislokai, Suluxatio,
Arthrosis Sternoclavicular, dan Subacute degenerative pada steroclavicular
joint.
3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa dia adalah
manusia biasa yang tiak pernah luput dari kehilafan, jadi jika terjadi
kesalahan dalam makalah ini mohon di maafkan . Saya atas nama penulis mohon
saran dan masukan yang membangun dari pembaca demi kebaikan makalah kami
berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA